Minggu, 13 Maret 2011

SUKSES MENJADI DIRI SENDIRI:

Sebuah Pendekatan Membangun Karakter Bangsa?

Oleh Daniel Yusmic P.FoEkh

Apakah Anda ingin sukses?  Setiap orang  pasti menjawab YA.” Tetapi apa sesungguhnya arti frase “sukses”? Kata yang penuh daya magik tersebut sering dijadikan obyek mimpi semua insan di bawah kolong langit ini.  Bagaimana dengan Anda?  Sukses macam apa yang ingin Anda capai: Kekayaan tak terbatas? Posisi? Jabatan? Kehormatan? Kenikmatan? Keliling dunia?
Bila salah satu saja dari hal-hal di atas menjadi tujuan sukses Anda, maka Anda tidak akan temukan dalam buku ini. Karena semua hal di atas hanyalah sarana mencapai tujuan sejati Anda.  Apakah tujuan sejati itu?  Sukses yang sesungguhnya adalah menjadi diri sejati atau diri yang yang sesungguhnya, itulah tesis utama dari buku  ini.
Seperti kata Socrates, Know Youself!  Sebuah ungkapan yang tidak asing bagi banyak orang. Mungkin juga bagi Anda. Namun, apakah Anda pernah menemukan kiat-kiat atau semacam panduan untuk mengenal dan menjadi diri sendiri? Buku The Real You is The Real Success membantu kita untuk mengenal dan menjadi diri sejati. 
Apa artinya menjadi diri sejati?  Mulai dengan mengerti dan mendefinisikan siapa diri kita dari berbagai perspektif. Secara filosofis, teologis, psikologis, biologis, kimiawi, dan secara prakmatis. Contoh sederhana secara teologis, sukses sejati adalah menjadi fitrah, imago dei, namaste dan istilah pararel yang dianut aliran oleh kepercayaan lainnya. Pendekatan biologis, dimana otak manusia terdiri dari 100 milar sel dengan kemampuan mencipta yang luar biasa.  Para ahli otak (neurolog) menyimpulkan bahwa rata-rata manusia baru menggunakan 0,001% dari kapasitas otak tersebut (halaman 40-41). Nah, sukses sejati, menurut buku ini, adalah menjalani hidup dengan memaksimalkan penggunaan potensi luar biasa pemberian pencipta itu. Bayangkan, baru menggunakan seperseribu dari kapasitas otaknya saja manusia sudah mampu menciptakan hal-hal luar biasa di abad ini, apalagi menggunakan 1, 5, 30, 50, 70, dan lebih-lebih lagi 100%?  Itulah identitas the Real You.
Disebabkan menjalani potensi diri sejati saja sudah demikian menantangnya, maka hubungan antara sesama bukanlah hubungan kompetitif. Justru sebaliknya, lebih dibutuhkan hubungan kondisif untuk saling menopang, saling mendorong dan saling menginspirasi agar sukses menjadi diri sendiri, yaitu menjalani keunikan masing-masing. Dengan menjalani keunikan diri, kompetisi menjadi tidak lagi relevan, bahkan tidak mendapatkan tempat. Setiap individu akan mengekspresikan keunikannya dan daripadanyalah dia dibutuhkan oleh lingkungan sehingga tercipta hubungan saling membagi keunikan.  Sebagai contoh, dua kandidat presiden atau kepala daerah tidak perlu berkompetisi karena mereka hanya perlu menunjukkan dengan jujur keunikan mereka lewat rekam jejak, visi, pendekatan, strategi ekonomi (mikro dan makro), prioritas program, kebijakan luar negeri, dan sebagainya. Dan dengan itu, masyarakat pemilih akan menentukan pilihan sesuai kebutuhan mereka.
Peran Empat Unsur Diri Sejati
Diri sejati terdiri dari empat unsur pokok, yaitu diri rohaniah atau spiritual (SQ), diri mental intelektual (IQ), diri sosio-emosional (EQ), dan diri fisik (PQ).  Masing-masing aspek diri ini memiliki keunikan dan potensinya sendiri, serta menjalankan fungsi dan peran yang berbeda.  Perbedaan peran tersebut mempersyaratkan adanya integrasi keempat unsur untuk menjadi diri yang utuh.  Perbedaan bobot kombinasi dan dominasi dari unsur-unsur diri sejati tersebut menentukan ragaan tipe seseorang.
Misalnya, pemimpin dengan IQ tinggi namun SQ, EQ, dan PQ yang rendah akan cenderung meragakan model kepemimpinan atau tampilan diri yang dikenal sebagai pemimpin cerdas, ahli dalam pengorganisasian, kemampuan memprediksi masa depan, memperhitungkan resiko dan sebagainya.  Namun, cenderung terkesan bekerja tidak dengan hati, tidak memiliki visi jangka panjang, dan juga kurang keterampilan dalam melakukan hal-hal teknis. Bagaimana bila seseorang memiliki kemampuan IQ dan EQ yang tinggi namun SQ dan PQ rendah?  Tipe ini tidak saja memiliki kemampuan pengorganisasian dan manajemen sumberdaya yang tinggi tetapi juga kepedulian dan kepekaan sosial yang baik.  Namun, cenderung tidak memiliki visi jangka panjang serta keterampilan teknis sehingga hasil perencanaan tidak dapat diwujudkan. Tipe lainnya, misalnya IQ dan PQ  tinggi namun SQ dan EQ rendah, maka orang ini merupakan seorang manajer brilian.  Dia tidak saja punya master plan dan strategic plan, tetapi juga keterampilan eksekusi yang tangkas. Namun kurang visioner dan kepedulian. Demikianlah, setiap kombinasi menggambarkan tampilan (ragaan) yang berbeda.
Apakah tipe yang ideal? Tipe ideal merupakan sukses sejati dimana keempat unsur diri sejati tersebut dapat dikembangkan secara seimbang sehingga memainkan peran sebagaimana seharusnya.  Dengan kombinasi keempat identitas diri sejati, buku ini mengidentifikasi lima belas karakter pemimpoin, disertai penjelasan detil dengan menggunakan contoh-contoh yang sedang aktual dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu contoh yang angkat misalnya, “mengapa orang memilih menjadi teroris?”
Catatan Kritis
“Sebuah ramuan pendekatan yang unik,” demikian kata Andrias Harefa.  Atau kata Endang Fauziati,Buku The Real You is The Real Success  berbeda dari buku-buku sejenis yang telah saya baca.” Bayangkan, sementara semua “ilmu sukses” memberikan jurus-jurus jitu meraih sukses dengan berbagai strategi kompetisi, kiat-kiat meraih kekayaan, meningkatkan penjualan, memiliki properti tanpa modal,  sampai kiat memengaruhi orang dan meningkatkan kualitas kepemimpinan, buku ini menganjurkan sukses yang sesungguhnya adalah menjadi diri sendiri atau diri sejati. 
Saya membayangkan bila para wakil rakyat di DPR, eksekutif (termasuk polisi dan tentara), yudikatif, para pengusaha, menjalankan “jurus-jurus unik” yang ditawarkan buku ini, maka aman dan jayalah negeri ini. Saling intrik untuk menjatuhkan menjadi minimal, demikian pula korupsi, kolusi, penggusuran, dan sebagainya.  Semua perilaku tidak bermanfaat itu  terjadi karena orang menjauh dari diri sejatinya.  Itulah sebabnya, dalam banyak kasus pelaku menyesali diri, yang pada esensinya menyadari diri telah tersesat dari diri sejatinya. 
Wawasan buku ini akan mudah memberi kesan masuk aliran new left. Namun bila diselami lebih dalam, akan terasa wawasan spiritualitasnya yang amat kental. Saya lebih suka menyebutnya mengandung ajaran filsafat hidup, dimana saling hubung antara sesama manusia, juga dengan alam biotik dan non biotik disatukan oleh sebuah energi lembut halus namun memiliki kekuatan dahsyat, yaitu cinta kasih. Itulah urat nadi buku ini, yang menjadi dasar dari semua hubungan, baik lewat sistem rantai makanan maupun hubungan saling menginspirasi dan saling menopang untuk menjadi yang terbaik dari diri masing-masing. Buku ini dapat dikategorikan sebagai buku master piece yang natural. Banyak buku pengembangan diri mendompleng pendekatan-pendekatan Neuro Linguistic Programming (NLP), pemberdayaan otak, atau hipnoterapi, sementara buku ini seperti berdiri sendiri di tengah kerumunan.  Contoh khas dan unik diambil dari berbagai daerah di Indonesia mencirikan keindonesian.
Tidakkah Anda berpikir untuk menentukan sukses Anda mulai sekarang?  Jangan biarkan ciptaan luar biasa Sang Pencipta ini menjadi mubazir. Sukseslah menjadi diri sejati maka akan sukses juga menjadi Indonesia sejati! Di tengah berbagai krisis nilai, krisis integritas, krisis visi (kepemimpinan), krisis kepedulian dan berbagai krisis substantif lainnya, buku ini laksana oase di tengah tandus kerontangnya krisis multiral Indonesia. Dengan gaya bahasa yang popular, dimulai dengan prolog dan kisah-kisah inspiratif, dan  diselingi humor, buku ini benar-benar enak dinikmati, termasuk  dalam suasana santai.  Jangan dilewatkan!
Daniel Yusmic P.FoEkh
Dosen Fakultas Hukum UNIKA Atmajaya Jakarta 

Rabu, 18 Agustus 2010

RINDU MENJADI INDONESIA

(Sebuah Renungan Kemerdekaan lewat kegalauan mbah Wardi)

Mbah Wardi seorang pensiunan tentara yang ikut berjuang membela Negara,selain karena tugas-tugas utamanya sebagai prajurit, juga terlibat langsung dalam berbagai gejolak nasional seperti Gerakan September 1965, Perebutan Irian Barat, dan sebagainya. Mbah adalah sesepuh yang diberi kepercayaan oleh Ketua RW untuk memberi wejangan sebagai renungan kemerdekaan. Meski usianya sudah 70-an tahun, sambutannya penuh semangat dan nampaknya ia berusaha membangkitkan sensitifitas nasionalisme generasi muda, sekaligus semangat membangun bangsa. Apalagi, mbah memang diberi giliran setelah kami semua warga menyanyikan sejumlah lagu perjuangan dan beberapa kali meneriakkan pekik merdeka...merdeka...merdeka! Di malam yang masih gerimis setelah sholat tahajut. Semangatnya memang mencapai puncak, dan membawa kami ke puncak semangatnya juga.Pada kata-kata terakhir sambutannya, dia berkata dengan suara yang rendah, "sayangnya akhir-akhir ini, seperti kita saksikan di tv, banyak veteran yang diusir dari asrama tempat mereka tinggal."

Saya tersentak. Menangkap adanya kontradiksi dalam semangat tuanya. Jiwa nasionalisme yang kuat dan semangat berjuang yang kental bergetar lewat pilihan kata yang digunakannya.Semangat luhur yang ingin diwariskannya lewat wejangan kepada kami generasi muda. Namun bersamaan dengan itu pula ia tidak dapat menghindari keresahan dan kegalauan hatinya akibat perlakuan terhadap para veteran. Inikah bentuk balas jasa pada keringat dan darah mereka? Inikah idealisme visi berbangsa diujung jembatan emas kemerdekaan seperti dipidatokan oleh para pendiri bangsa (founding parents) kita? Lebih-lebih lagi, inikah Indonesia yang kita cita-citakan?

Renungku menggugah refleksi dan retrospeksi. Tahun 1960-an, Sukarno dalam salah satu pidatonya mengatakan, "bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya." Dengan menggunakan logika terbalik dapatlah kita rumuskan menjadi, "bangsa yang kerdil adalah bangsa yang tidak menghargai (mengabaikan) jasa para pahlawan dan bahkan menggusur mereka." Sebuah ironi yang mencekik. Oh, Indonesiaku. Kami semua warga RT 04 Kel.Sidorejo Salatiga--tua, muda, anak-anak, perempuan, laki-laki, rambut keriting maupun lurus,kulit hitam, coklat, dan putih-- baru saja mengakhiri lagu kebangsaan, yang dinyanyikan dengan penuh haru "hiduplah Indonesia Raya." Keharuan kian mengharubiru disebabkan karena baru saja menyaksikan berita tv bahwa Polisi Diraja Malaysia menangkap petugas Satuan Kerja Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) karena menangkap lima kapal Malaysia yang mengambil ikan di perairan pulau Bintan. Dan, pemerintah belum memberi reaksi apa-apa. Hm...hm...bangsa yang BESAR, Indonesia RAYA.

Setelah 65 tahun merdeka,sudah berapa dekat kita ke arah cita-cita kemerdekaan? Apa sih Indonesia yang dicita-citakan itu? Bangsa yang adil dan makmur? Ironisnya kita semua tahu bahwa bangsa ini memang terbukti makmur,namun ketiadaan keadilan mengakibatkan kemakmuran bertumpuk di perut sebagian kecil anak bangsa yang dipercayakan memegang kekuasaan. Bangsa yang Pancasilais? Ironisnya, kelompok-kelompok sipil paramilisi dibiarkan mengatasnamakan Tuhan untuk mengadili kepercayaan minoritas seperti kasus ahmadiyah, Lia Eden,penyerangan dan penutupan gereja, dan sebagainya. Juga, penggusuran masyarakat pinggiran, kasus lumpur Lapindo yang mentelantarkan para korban, kasus bank century yang tenggelam ditelan berbagai isu yang muncul tiba-tiba, rekening gemuk para jenderal polisi yang sontak senyap laksana bermalam di puncak mahameru, kasus korupsi pajak yang juga entah mengapa mulai redup:"hari gini korupsi pajak --yang dibayarkan oleh rakyat dari jerihlelahnya-- apa kata dunia?" Dan, masih banyak ironi lainnya, bukan?

Indonesia Raya, merdeka, merdeka,

Tanah kunegeri ku yang kucinta.

Indonesia Raya, merdeka, merdeka,

Hiduplah Indonesia Raya.

Alangkah rinduku pada Indonesia ku, Indonesia Raya. Indonesia yang menghargai jasa para pahlawannya, mensejahterakan rakyatnya, mencerdaskan kehidupan mereka, menciptakan rasa aman,menciptakan iklim yang sehat bagi terdistribusinya kemakmuran secara adil, mengamalkan ajaran agama dan bukannya mengambil hak untuk mengadili kepercayaan orang lain,membangun kemanusiaan lewat jalur pembangunan bukannya mengorbankan manusia demi pembangunan, memupuk kehidupan yang harmoni dan gotong royong, tepo saliro, dan sebagainya. Sungguh, saya merindukan Indonesia yang seperti itu. Bagaimana dengan Anda?

Dirgayahu Indonesia Raya. Merdeka! Merdeka! Merdeka!

SemuelS.Lusi, Penulisbuku The Real You is The Real Success, inisiator pemberdayaan The Real Indonesia.

Selasa, 02 Februari 2010

SEMUA TERGANTUNG PILIHAN ANDA

Oleh Semuel S.Lusi

Seorang mahasiswa meminjam buku “suhu” Hing (Hingdranata Nikolay: be Hapy! and Get What You Want!) di tempat saya, dan tiga hari kemudian mengembalikannya dengan komentar yang mencengangkan, meski saya tidak heran: “pak Sem, saya benar-benar tercerahkan. Selama ini saya kira sudah nasib saya yang selalu sial, tidak bisa mandiri karena dimanja berlebihan oleh orang tua, ketergantungan pada minuman keras, dan kuliah sudah delapan tahun belum selesai; sebagai nasib yang tidak bisa diubah. Sekarang saya tahu, bahwa semua tergantung saya, dan bahwa saya dapat membuat keputusan untuk melakukan yang saya inginkan dan kemudian dapat menjadi apapun yang saya inginkan.”
Untuk menambah percaya dirinya, dan memperkuat kesimpulan yang telah menjadi pengetahuan yang bermanfaat baginya itu, saya lalu teringat pernah menyaksikan sebuah video klip dari Youtube yang berkaitan dengan topik ini dan menceriterakan kepadanya.
Sekawanan anjing di tempatkan di satu kurungan. Kurungan tersebut terbuat dari bambu dan dibuat sedemikian rapatnya sehingga bahkan seekor tikus kecil pun mustahil dapat masuk kedalamnya. Bagian atap terbuat dari seng. Ruang gerak anjing-anjing itu hanya seluas kandang berukuran sekitar 3 x 5 meter. Kerjaan mereka hanya makan, tidur-tiduran, menggonggong bila dibutuhkan, dan tentu hal lainnya yang menjadi kebiasaan kaum anjing.
Semua nampaknya pasrah dengan keadaan mereka, kecuali satu ekor anjing remaja yang perilakunya berbeda. Ia terus menggaruk-garuk dinding dari satu titik berpindah ke titik lainnya, dan berpindah lagi, terus menerus tanpa putus asa. Kawanan lainnya hanya menyalak seakan-akan memprotes perilakunya yang mengganggu ketenangan mereka.
Anjing kecil ini tidak putus asa. Meskipun nampaknya usaha itu mustahil mengingat bambu-bambu tersebut cukup kokoh, dia tetap lakukan pekerjaannya setiap hari. Menggaruk, memanjat, bahkan semua lubang kecil dicobanya. Pada suatu waktu dia menemukan pijakan yang cukup tinggi lalu dia mencoba menggaruk-garuk di ketinggian. Karena ia terus mencoba, garukannya mengenai bagian ujung sebuah bambu lapuk, dan kraaaack, patah seketika! Sebuah lubang agak besar sudah tercipta, meskipun belum cukup untuk memasukan kepalanya. Ia terus saja berusaha dengan memasukan kepala, namun selalu saja gagal, gagal dan gagal. Pada kesempatan yang lain, ia tidak lagi memasukan kepala, melainkan melekatkan jari-jari kuku kedua kaki depannya lalu merayap naik. Setelah beberapa kali mencoba, hup! Dia berhasil menginjakkan kedua kaki belakangnya di ujung bambu yang patah itu, lalu kepalanya menyentuh atap seng. Beruntunglah si anak anjing tersebut karena paku seng bagian bawah telah longgar sedemikian sehingga dia dapat mengeluarkan kepalanya. Anak anjing tersebut pun dengan mudahnya melompat turun, dan plung! Berhasil…berhasil… berhasil!
Kawanan anjing lainnya yang melihat kejadian itu beramai-ramai menyalak keras seolah-olah hendak melapor ke tuan mereka. Mungkin juga mereka memarahi dan mencaci anak anjing “kurang ajar” itu.
Seandainya kita bertanya pada kawanan anjing-anjing itu, apakah kalian bahagia? Apakah kalian menjalani kehidupan yang sukses? Mungkin anjing-anjing itu akan berkata, “bukan salah kami berada di sini,” atau “kami memang sial ditempatkan di sini,” atau “mau gimana lagi, ini sudah nasib kami,” atau bisa juga, “kami memiliki tuan yang kejam dan tidak toleran,” tuan kami otoriter dan tidak membiarkan kami bertumbuh, sudahlah di sini keadaan kami kan tidak buruk-buruk amat, kami dapat makanan free kok,” dan seterusnya. Jelaslah anjing-anjing itu (sadar ataupun tidak sadar --mana tahu akh!) telah memilih untuk berada di kurungan itu. Tetapi kalau kita bertanya pada anjing remaja yang telah meloloskan diri, tentu jawabannya lain karena itu pilihannya berbeda, bukan?
Moral ceritera: ketika berada dalam masalah, keterbatasan, dan nampaknya tidak ada peluang sama sekali, tetaplah berusaha. Memang, mungkin bukan salah Anda untuk berada di dalam situasi tertentu, tetapi Anda dapat MEMUTUSKAN untuk TETAP berada di situ, atau KELUAR. Apapun pilihannya, Andalah yang memutuskan untuk diri Anda.
Haripun menjadi lebih cerah,
Semangat pun menjadi lebih berkobar,
Cinta pun semakin mekar .
Sukses selalu buat Anda!

Semuel S.Lusi, NLP
Independent Writer, Researcher & Trainer
Licensed Practitioner of NLPTM
Training Specialist PT.Wacana Tata Akademika
Founder of Success School (cv.Sukses Transformasi Indonesia)
Penulis buku: “The Real You is the Real Succeess”