Minggu, 13 Desember 2009

KOIN UNTUK MENGENTAHUI TAKDIR ANDA

(Sumber tidak diketahui; dimodifikasi dan diceriterakan secara bebas)

Dikisahkan pada waktu perang Jepang vs Cina, dalam sebuah penyerangan tentara Jepang babak belur dihantam musuh. Pertahanan mereka kocar – kacir dan hampir separoh tentaranya tewas tertembak, lainnya luka parah.
Mereka akhirnya pontang panting menyelamatkan diri dan bersembunyi di sebuah gua. Semua tidur-tiduran dalam keadaan lesu tanpa gairah. Energi mereka melorot sampai titik nadir. Karena putus asa yang amat sangat beberapa prajurit melakukan hara kiri (bunuh diri). Sang komendan pun berpikir keras bagaimana memompa kembali semangat hidup dan gairah tempur pasukannya.
Ia mengambil sebuah uang koin Jepang dari kantongnya. Pada satu mata dari koin Jepang terdapat gambar paduka raja dan sebelah lainnya burung elang. Sang komendan memanggil semua anggota pasukannya yang tersisa berkumpul, dan duduk dalam lingkaran kecil mengelilinginya, lalu berkata: “mari kita tentukan takdir kita. Saya akan buang mata uang ini ke udara, dan bila bagian yang terbuka adalah paduka raja, maka itu berarti kita ditakdirkan untuk menang. Saya mohon semua memperhatikannya karena saya akan membuangnya tiga kali berturut-turut untuk memastikan takdir kita di sini.”
Semua mata tertuju ke koin di tangan komendan. Nampaknya inilah langkah paling masuk akal bagi mereka untuk membuat keputusan atas nasib mereka. Uang koin dilemparkan tinggi ke udara, dan jatuh di tengah kerumunan. Semua mata memancar dengan gairah dan keingintahuan yang liar ke arah koin yang terbuka itu. Cleng!, gambar paduka raja nampak di permukaan. Hawa kegairahan mulai terasa menghangat, dan semua mata masih menunggu tanpa kedip lemparan kedua, dan ketiga. Hasilnya sama.
Komendan berkata: “kita sudah ditakdirkan menang. Bangkitlah dan siapkan semua senjata, peluru, amunisi, apa saja yang masih tersisa. Kita jemput kemenangan kita. Ini adalah takdir. Kita tidak bisa menghindari takdir. Bahkan musuh sekalipun”
Mata semua prajurit kembali bernyawa. Semangat mereka terpompa sampai puncak ubun-ubun. Sel-sel dalam tubuh rasanya mengembang. Persiapan dilakukan. Komendan menginstruksikan supaya yang terluka menunggu saja, namun mereka berkata: “tidak, tuan, yang terluka adalah kaki, sementara kami menembak dengan tangan.”
Pada dini hari yang dingin, ketika tentara-tentara musuh baru saja membaringkan diri karena kelelahan bersenang semalam suntuk merayakan kemenangan mereka, tiba-tiba dikagetkan oleh serangan yang menggila. Pasukan Jepang seperti kesurupan. Mereka menyerang dengan galak dan sama sekali tidak memberi kesempatan membalas. Lebih dari separuh tentara musuh tewas dalam seketika. Sisanya pontang-panting melarikan diri. Benteng berhasil direbut kembali.
Setelah serangan yang sukses itu, mereka bersitirahat dan memenuhi rasa lapar dan haus dengan persediaan musuh yang tertinggal di situ. Sebagian besar prajurit segera beristirahat dengan pulas karena kelelahan. Sang komendan sedang duduk merenung, ketika didekati seorang anggota pasukannya.
“Komendan, sungguh beruntung Anda menemukan jalan untuk menggunakan koin agar megetahui takdir kita. Koin itu benar-benar telah menyelamatkan nyawa kita”
Sang komendan tersenyum mengiyakan, lalu mengeluarkan koin tersebut dan memperlihatkannya kepada sang prajurit. Gambar paduka raja ternyata berada di kedua belahan mata uang tersebut. Koin itu bukan mata uang melainkan dipesan secara khusus.
Jelaslah bahwa koin itu seungguhnya tidak berbuat apa-apa. Koin tetaplah koin. Mereka sukses karena percaya tanpa secuilpun keraguan bahwa mereka pasti menang. Kemenangan saat itu adalah takdir mereka.
Memang begitulah sesungguhnya. Untuk menjadi sukses, kita hanya butuh keyakinan yang tak goyah. Yakin bahwa kita bisa melakukannya, yakin bahwa kita bisa mencapainya, yakin bahwa sukses adalah takdir kita.
Nah, sekarang Anda sudah tahu rahasianya bukan? Yaitu, bahwa kalau ingin SUKSES, buatlah SUKSES di kedua belah mata koin takdir Anda. Kini terserah Anda; mau memilih untuk SUKSES atau SUKSES?!
Sukses selalu buat Anda!


Semuel S.Lusi, NLP
Independent Writer, Trainer & Researcher 
Licensed Practitioner NLP of Dr.Richard Bandler
Training Specialist PT.Wacana Tata Akademika
Founder & owner of Success School (cv.Sukses Transformasi Indonesia) 
Founder & owner www.sekolah-sukses.com 

Jumat, 11 Desember 2009

Menemukan Diri Sejati : Mission Imppossible dari Planet Lain

Oleh Semuel S.Lusi


Jarum jam menunjukkan pukul 17.00 tepat ketika sebuah ketukan keras dan tak wajar menggetarkan pintu rumah. Seorang pria asing dengan penampilan yang rapih dan necis berdiri di depan pintu. Saya jarang mendapatkan perkunjungan tamu dengan stelan formal. Rambutnya disisir rapi dengan sapuan jelly tipis, namun cukup kuat memperdayai gumpalan rambut dan memaksanya merayap kaku ke arah belakang batok kepala. Sebuah gaya klasik, mirip gang Mafia Sicilia atau para pangeran dalam ceritera-ceritera dongeng Eropa. Posturnya kecil dengan tinggi sekitar 160 cm, namun garis-garis wajahnya memperlihatkan kesan kasar dan keras pendirian, energi dahsyat, dengan ambisi mekar yang masih tersumbat. 

Begitu pintu dibuka, ia langsung saja nyelonong ke dalam tanpa sepatah katapun. Saya mengucapkan selamat sore dan mencoba meramahinya. Dia menatap saya dengan tatapan aneh, mengirim pesan ke memori saya bahwa ia tidak mengerti. Segera saya menangkap maksud peran yang sedang dimainkannya. Dengan tanpa ragu saya memulai: “Saya tahu Anda datang dari luar planet ini, dan sebagai makluk yang dapat melakukan perjalanan antar planet, Anda memiliki kebudayaan yang tinggi untuk mengerti bahasa saya. Nama saya Sem, dan katakan sesuatu supaya saya bisa menyebut Anda.” 
Dengan tanpa kata tanpa senyum, ia mengambil spidol di meja kerja saya dan menulis dengan tangan kirinya, “Jiiuxxxe.” 
“Ok, tuan Jiiuxxxe, sekarang saya ingin Anda berkomunikasi dengan bahasa yang saya kenal,” demikian saya melanjutkan. “Apa misi Anda di planet ini?”
Jiiuxxxe merapihkan posisi kerah jasnya dengan gaya yang elegan, dan tetap dengan wajah yang kaku dan dingin ia berkata:
“Saya datang untuk membela orang-orang miskin, Saya menemukan banyak orang miskin, orang marginal, orang-orang yang disengsarakan dan ditelantarkan. Saya akan menjadi pengacara yang kuat untuk membela hak-hak mereka tanpa berkompromi.” 
Idih, bulu-bulu kuduk saya merinding. Melihat garis muka yang kasar, dan menyadari bahwa hukum kita dapat dibeli, makluk ini akan menciptakan sebuah gejolak besar dalam dunia persialatan eh…dunia hukum kita. 
Itulah salah satu sesi saya dengan seorang mitra belajar bernama Dewa. Ia memiliki persoalan rendah diri akut (lack of self confidence), terutama dalam kaitan dengan studinya. Ia takut bertemu face to face dengan dosen, takut presentasi kelas, dan ketakutan lainnya yang menciutkan semua peluang untuk memulai skripsinya. Menurutnya, sejak sekolah dia memang lebih banyak mencatat prestasi-prestasi yang kurang mendukung, seperti berkelahi, hampir selalu tidak naik kelas, hampir tidak lulus sekolah, mabuk-mabukan, dan prestasi tertingginya ketika berhasil diinapkan di hotel prodeo alias penjara sewaktu masih di kelas dua SLTA. Setelah menamatkan SLTA (ia lebih suka menggunakan frase “ditamatkan”) dengan “merayap” (menurutnya ia lulus karena dua alasan, pertama, dikasihani, dan kedua, guru-gurunya segan pada ayahnya yang memiliki dedikasi dan prestise selama menjadi pejabat), orang tuanya memaksa Dewa untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Dewa sendiri tidak berniat, bahkan itu adalah mimpi buruknya (menurutnya karena dia tahu dia tidak mampu, “wong sekolah aja gak pernah niat kok, gak ada satu pelajaranpun yang nancap di otak saya” demikian ia berceritera pada saya). Makanya jangan heran kalau kuliahnya di fakultas hukum sudah jalan 8 tahunan tanpa tanda-tanda akan selesai. Anda dapat membayangkan seperti apa seorang Dewa, sebuah ciri yang masih banyak kita temukan pada sebagian generasi muda saat ini bukan? Nama Dewa sendiri bukan nama sebenarnya. Nama itu lebih sebagai gelar yang diberikan oleh teman-teman bermainnya. Mungkin karena prestasi-prestasi uniknya bukan? Dan nama itu pulalah yang membuat Dewa terikat pada peran-peran yang dimainkannya dengan tetap mempertahankan “prestasi-prestasinya” yang telah menjadi label dirinya. Sebuah dunia kecil di mana Dewa adalah porosnya, dan menjadi hero bagi anggota gang-nya.
Pada sebuah kesempatan saya berbicara padanya:
“Dewa, saya tahu kamu memiliki potensi tersembunyi yang amat luar biasa. Saya dapat melihatnya dengan jelas karena telah memperlajari ilmunya. Saya ingin besok kamu datang dan kita berdua akan mempersiapkan sebuah pembelajaran yang luar biasa untuk moment tersebut, dimana saya akan menunjukkan kepada kamu potensi terhebat kamu.” 
Wajah Dewa sedikit bingung tetapi kemudian menatap saya dengan tatapan yang bercahaya. 
“Apa itu bos?” demikian ia bertanya dengan ragu.
“Begini saja, besok saya menunggu kamu di sini jam 17.00 tepat. Saya ingin kamu datang, tetapi janganlah datang sebagai Dewa. Saya ingin kamu berdandan dan juga berperilaku sebagai seseorang yang lain yang bukan Dewa. Entah sebagai apa saja, apakah sebagai tokoh yang kamu kagumi, sebagai makluk luar angkasa, atau sebagai apa saja, asalkan bukan Dewa. Jadilah seseorang yang membuat kamu begitu merasa hebat.”
“Ok bos, besok saya datang jam 17.00.”
Kini, hanya dalam waktu kurang dari 6 bulan sejak sesi itu, Dewa telah menyelesaikan proposal skripsinya, dan sambil itu dia juga telah merintis jaringan (network) untuk kelak magang sebagai pengacara di Jakarta. Ia sudah merencanakan mengambil kursus advokad-nya di Universitas Indonesia dan kemudian membuka praktek di Jakarta. 
Sekali waktu, ketika Dewa berkunjung ke rumah untuk memberitahu saya bahwa dia akan seminar proposal skripsi pada keesokan harinya, saya terkejut (antara tidak percaya, gembira dan bersyukur). Spontan saya berkata: 
“Dewa, apa rahasianya sampai kamu mendapatkan kemampuan serta keberanian untuk membuat proposal, mencari literatur untuk menulis, berkonsentrasi pada sebuah topik ilmiah,yang serius, dan lebih-lebih lagi bertemu dosen untuk berkonsultasi?”
Dengan tersenyum Dewa berkata: “setiap akan menghadap dosen, saya berkata pada diri sendiri, Jiiuxxxe akan menghadap dosen.” Lalu ia lanjutkan, “setiap hendak memulai sesuatu pekerjaan dan rasa rendah diri muncul, saya selalu membangkitkan Jiiuxxxe dalam diri saya, meyakinkan diri saya bahwa saya adalah Jiiuxxxe, bukan lagi Dewa.” 
Itulah Jiiuxxxe, manusia luar planet yang akan membela orang-orang marginal. Selamat datang di planet bumi tuan Jiiuxxxe, tuntaskan misi Anda!
Pengalaman saya dengan Dewa, eh Jiiuxxxe seperti diceriterakan di atas merupakan salah satu metode untuk mendefiniskan diri sejati Anda. Lebih-lebih lagi, mendifinisikan misi sejati Anda. Dengan mengenal diri sejati Anda, Anda akan berperilaku lebih produktif sesuai dengan pengenalan diri Anda itu.

Dan, paling utama adalah pengenalan diri merupakan pintu masuk bagi terciptanya sukses transformasi. Sukses transformasi diri merupakan bibit semai bagi sukses transformasi Indonesia.

Semuel S.Lusi, NLP
Independent Writer, Trainer & Researcher
Licensed Practitioner of NLP
Founder & owner of Success School (cv.Sukses Transformasi Indonesia)
Specialist Training PT.Wacana Tata Akademika
Penulis buku: “The Real You is The Real Success”