Rabu, 18 Agustus 2010

RINDU MENJADI INDONESIA

(Sebuah Renungan Kemerdekaan lewat kegalauan mbah Wardi)

Mbah Wardi seorang pensiunan tentara yang ikut berjuang membela Negara,selain karena tugas-tugas utamanya sebagai prajurit, juga terlibat langsung dalam berbagai gejolak nasional seperti Gerakan September 1965, Perebutan Irian Barat, dan sebagainya. Mbah adalah sesepuh yang diberi kepercayaan oleh Ketua RW untuk memberi wejangan sebagai renungan kemerdekaan. Meski usianya sudah 70-an tahun, sambutannya penuh semangat dan nampaknya ia berusaha membangkitkan sensitifitas nasionalisme generasi muda, sekaligus semangat membangun bangsa. Apalagi, mbah memang diberi giliran setelah kami semua warga menyanyikan sejumlah lagu perjuangan dan beberapa kali meneriakkan pekik merdeka...merdeka...merdeka! Di malam yang masih gerimis setelah sholat tahajut. Semangatnya memang mencapai puncak, dan membawa kami ke puncak semangatnya juga.Pada kata-kata terakhir sambutannya, dia berkata dengan suara yang rendah, "sayangnya akhir-akhir ini, seperti kita saksikan di tv, banyak veteran yang diusir dari asrama tempat mereka tinggal."

Saya tersentak. Menangkap adanya kontradiksi dalam semangat tuanya. Jiwa nasionalisme yang kuat dan semangat berjuang yang kental bergetar lewat pilihan kata yang digunakannya.Semangat luhur yang ingin diwariskannya lewat wejangan kepada kami generasi muda. Namun bersamaan dengan itu pula ia tidak dapat menghindari keresahan dan kegalauan hatinya akibat perlakuan terhadap para veteran. Inikah bentuk balas jasa pada keringat dan darah mereka? Inikah idealisme visi berbangsa diujung jembatan emas kemerdekaan seperti dipidatokan oleh para pendiri bangsa (founding parents) kita? Lebih-lebih lagi, inikah Indonesia yang kita cita-citakan?

Renungku menggugah refleksi dan retrospeksi. Tahun 1960-an, Sukarno dalam salah satu pidatonya mengatakan, "bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya." Dengan menggunakan logika terbalik dapatlah kita rumuskan menjadi, "bangsa yang kerdil adalah bangsa yang tidak menghargai (mengabaikan) jasa para pahlawan dan bahkan menggusur mereka." Sebuah ironi yang mencekik. Oh, Indonesiaku. Kami semua warga RT 04 Kel.Sidorejo Salatiga--tua, muda, anak-anak, perempuan, laki-laki, rambut keriting maupun lurus,kulit hitam, coklat, dan putih-- baru saja mengakhiri lagu kebangsaan, yang dinyanyikan dengan penuh haru "hiduplah Indonesia Raya." Keharuan kian mengharubiru disebabkan karena baru saja menyaksikan berita tv bahwa Polisi Diraja Malaysia menangkap petugas Satuan Kerja Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) karena menangkap lima kapal Malaysia yang mengambil ikan di perairan pulau Bintan. Dan, pemerintah belum memberi reaksi apa-apa. Hm...hm...bangsa yang BESAR, Indonesia RAYA.

Setelah 65 tahun merdeka,sudah berapa dekat kita ke arah cita-cita kemerdekaan? Apa sih Indonesia yang dicita-citakan itu? Bangsa yang adil dan makmur? Ironisnya kita semua tahu bahwa bangsa ini memang terbukti makmur,namun ketiadaan keadilan mengakibatkan kemakmuran bertumpuk di perut sebagian kecil anak bangsa yang dipercayakan memegang kekuasaan. Bangsa yang Pancasilais? Ironisnya, kelompok-kelompok sipil paramilisi dibiarkan mengatasnamakan Tuhan untuk mengadili kepercayaan minoritas seperti kasus ahmadiyah, Lia Eden,penyerangan dan penutupan gereja, dan sebagainya. Juga, penggusuran masyarakat pinggiran, kasus lumpur Lapindo yang mentelantarkan para korban, kasus bank century yang tenggelam ditelan berbagai isu yang muncul tiba-tiba, rekening gemuk para jenderal polisi yang sontak senyap laksana bermalam di puncak mahameru, kasus korupsi pajak yang juga entah mengapa mulai redup:"hari gini korupsi pajak --yang dibayarkan oleh rakyat dari jerihlelahnya-- apa kata dunia?" Dan, masih banyak ironi lainnya, bukan?

Indonesia Raya, merdeka, merdeka,

Tanah kunegeri ku yang kucinta.

Indonesia Raya, merdeka, merdeka,

Hiduplah Indonesia Raya.

Alangkah rinduku pada Indonesia ku, Indonesia Raya. Indonesia yang menghargai jasa para pahlawannya, mensejahterakan rakyatnya, mencerdaskan kehidupan mereka, menciptakan rasa aman,menciptakan iklim yang sehat bagi terdistribusinya kemakmuran secara adil, mengamalkan ajaran agama dan bukannya mengambil hak untuk mengadili kepercayaan orang lain,membangun kemanusiaan lewat jalur pembangunan bukannya mengorbankan manusia demi pembangunan, memupuk kehidupan yang harmoni dan gotong royong, tepo saliro, dan sebagainya. Sungguh, saya merindukan Indonesia yang seperti itu. Bagaimana dengan Anda?

Dirgayahu Indonesia Raya. Merdeka! Merdeka! Merdeka!

SemuelS.Lusi, Penulisbuku The Real You is The Real Success, inisiator pemberdayaan The Real Indonesia.